Dilihat dari strategi pemerintahannya, wilayah MinangKabau sejak dibawah kerajaan Pagarruyung pertama, mengesankan tidak terlalu berkonsentrasi kepada jalur perdagangan laut serta tidak terlalu berambisi untuk memperluas wilayah kerajaan. Padahal dengan adanya muara sungai Kampar yang berada diwilayah Jambi sebagai jalur historis asal mula datangnya nenek moyang masyarakat Minang, Pagarruyung dapat menciptakan pelabuhan dagang bongkar-muat (dockland) untuk membuka langsung hubungan dengan para pedagang Arab, Cina dan India yang sejak sekitar abad 12 memang telah melakukan transaksi bisnis dengan kerajaan Samudra Passai (SP) di Sumatra Utara, serta kerajaan Shrivijaya (SVJ) di selatan.
Kelemahan dibidang maritim tersebut kelihatannya dimanfaatkan oleh kerajaan tetangga seperti SP dan SVJ tersebut, yang mana kekuatan kedua kerajaan itu sesuai dengan data sejarah, kemampuan angkatan laut mereka dapat menguasai selat Malaka sebagai jalur utama perdagangan wilayah Asia Timur.
Pada sekitar abad 12 hegemoni Shrivijaya terhadap jalur perdagangan diselat Malaka dapat dipatahkan oleh angkatan laut dari Cina, yang sekaligus juga merebut pusat pemerintahan kerajaan Shrivijaya. Berdasarkan data sejarah yang masih belum dapat dipadukan, pada masa itu ditenggarai sebagian keluarga kerajaan SJV menyingkir kewilayah Jambi, dan seperti data yang didapat pula, pada masai itu wilayah Jambi masih merupakan bagian dari wilayah Minangkabau, tetapi mungkin juga bukan merupakan bagian wilayah kerajaan Pagarruyung jika dilihat secara geographis pemerintahan. Oleh karena itu sementara dapat disimpulkan bahwa Pagarruyung sejak dibawah Raja NUR ALAM tidak pernah memperlihatkan tendensi untuk mengamankan apalagi memperluas wilayah kerajaan, yang ada malah cenderung berkurang dengan dikuasainya Jambi oleh SJV tanpa adanya data tentang perlawanan dari pihak Pagarruyung. kemudian pada waktu Pagarruyung dibawah dynasti Adityawarman, kerajaan tersebut terkesan mempunyai alasan tersendiri untuk tidak bersifat ekspansif, hal ini mungkin dikarenakan keberadaan sebagian dynasti Adityawarman di Pagarruyung adalah untuk mengasingkan diri dari kejaran pasukan Cina yang telah menguasai pusat SJV, yang pada waktu bersamaan ada sebagian dari dynasti adityawarman yang menyingkir kewilayah Tumasik (Singapore) dipimpin oleh PHARAMESVARA yang kelak dikemudian hari setelah memeluk agama Islam mengganti nama menjadi Sultan Iskandar Syah (hhayyahhhh???!!)
Masyarakat tradisional Minang secara kelompok dan individu terkesan memang tidak mempunyai jiwa ekspansif, yang dipunyai hanyalah sifat perantau pedagang yang individualis dan melihat hubungan kekerabatan hanyalah sebatas lingkup nagari tempat mereka berasal. Yang menjadi pertanyaan kemudian; apakah wilayah MinangKabau dahulu dapat dikategorikan sebagai wilayah kerajaan dan apakah Pagarruyung dizaman dynasti Adityawarman secara deFacto merupakan satu pemerintahan yang menguasai wilayah Minang? karena dengan melihat kekuasaan otonom yang dimiliki setiap wilayah kenagarian sejak zaman sebelum dynasti Adityawarman, menimbulkan kesan bahwa Pagarruyung tidak menguasai MinangKabau secara deFacto, tetapi mungkin saja secara deJure dari kacamata kolonialist Belanda pada waktu itu. Apalagi memang tidak ditemukan catatan sejarah yang menginformasikan tentang keberadaan kekuatan angkatan bersenjata kerajaan tersebut baik darat maupun laut.
Kelemahan dibidang maritim tersebut kelihatannya dimanfaatkan oleh kerajaan tetangga seperti SP dan SVJ tersebut, yang mana kekuatan kedua kerajaan itu sesuai dengan data sejarah, kemampuan angkatan laut mereka dapat menguasai selat Malaka sebagai jalur utama perdagangan wilayah Asia Timur.
Pada sekitar abad 12 hegemoni Shrivijaya terhadap jalur perdagangan diselat Malaka dapat dipatahkan oleh angkatan laut dari Cina, yang sekaligus juga merebut pusat pemerintahan kerajaan Shrivijaya. Berdasarkan data sejarah yang masih belum dapat dipadukan, pada masa itu ditenggarai sebagian keluarga kerajaan SJV menyingkir kewilayah Jambi, dan seperti data yang didapat pula, pada masai itu wilayah Jambi masih merupakan bagian dari wilayah Minangkabau, tetapi mungkin juga bukan merupakan bagian wilayah kerajaan Pagarruyung jika dilihat secara geographis pemerintahan. Oleh karena itu sementara dapat disimpulkan bahwa Pagarruyung sejak dibawah Raja NUR ALAM tidak pernah memperlihatkan tendensi untuk mengamankan apalagi memperluas wilayah kerajaan, yang ada malah cenderung berkurang dengan dikuasainya Jambi oleh SJV tanpa adanya data tentang perlawanan dari pihak Pagarruyung. kemudian pada waktu Pagarruyung dibawah dynasti Adityawarman, kerajaan tersebut terkesan mempunyai alasan tersendiri untuk tidak bersifat ekspansif, hal ini mungkin dikarenakan keberadaan sebagian dynasti Adityawarman di Pagarruyung adalah untuk mengasingkan diri dari kejaran pasukan Cina yang telah menguasai pusat SJV, yang pada waktu bersamaan ada sebagian dari dynasti adityawarman yang menyingkir kewilayah Tumasik (Singapore) dipimpin oleh PHARAMESVARA yang kelak dikemudian hari setelah memeluk agama Islam mengganti nama menjadi Sultan Iskandar Syah (hhayyahhhh???!!)
Masyarakat tradisional Minang secara kelompok dan individu terkesan memang tidak mempunyai jiwa ekspansif, yang dipunyai hanyalah sifat perantau pedagang yang individualis dan melihat hubungan kekerabatan hanyalah sebatas lingkup nagari tempat mereka berasal. Yang menjadi pertanyaan kemudian; apakah wilayah MinangKabau dahulu dapat dikategorikan sebagai wilayah kerajaan dan apakah Pagarruyung dizaman dynasti Adityawarman secara deFacto merupakan satu pemerintahan yang menguasai wilayah Minang? karena dengan melihat kekuasaan otonom yang dimiliki setiap wilayah kenagarian sejak zaman sebelum dynasti Adityawarman, menimbulkan kesan bahwa Pagarruyung tidak menguasai MinangKabau secara deFacto, tetapi mungkin saja secara deJure dari kacamata kolonialist Belanda pada waktu itu. Apalagi memang tidak ditemukan catatan sejarah yang menginformasikan tentang keberadaan kekuatan angkatan bersenjata kerajaan tersebut baik darat maupun laut.
No comments:
Post a Comment